1.1. Fungsi Gelombang dan Probabilitas
Ketika pertama kali menemukan persamaan di atas, Schrödinger baru berhasil meramu sebuah fungsi energi universal, dengan fungsi gelombang ψ sebagai solusi persamaannya. Meskipun begitu, ada yang belum jelas: sebenarnya, fungsi gelombang itu melambangkan apa?
Jawaban untuk ini ditemukan oleh fisikawan Max Born di tahun 1926. Menurut Born,
Tak bisa tidak, penemuan ini mengubah wajah ilmu alam secara drastis. Ternyata alam yang kita diami bersifat probabilistik!
Tentunya ini merupakan ancaman terhadap determinisme. Tetapi, sebagaimana yang sudah saya siratkan, pembahasan tentang ini akan saya tunda sampai bagian empat yang akan datang.
1.2. Akibat Probabilitas: Superposisi Keadaan
Selama ini, kita mengetahui bahwa elektron bergerak memutari inti atom. Ini adalah gerak revolusi. Meskipun demikian, tafsiran Born memberikan makna baru atas pengertian ini:
Nah, tapi ada masalah.
Menurut Born, semua tergantung pada probabilitas. Ini membuat sebagian fisikawan terguncang — secara tidak langsung Born menyatakan bahwa terdapat lebih dari satu kenyataan yang bisa terjadi.
Elektron yang kita singgung sebelumnya bisa saja hadir di zona A, B, atau C. Semuanya mungkin; yang membedakan hanyalah derajat probabilitasnya saja.
Melihat kisruh ini, Erwin Schrödinger turun tangan. Ia menantang Born dengan melempar sebuah paradoks:
Kasarnya, inilah kondisi di mana kucing Schrödinger berada antara kondisi mati dan hidup. Hal yang sama berlaku pada contoh elektron kita sebelumnya: terdapat kondisi di mana elektron belum pasti berada di zona A, B, maupun C. Lalu, bagaimana solusinya?
Hal ini akan kita bahas lebih lanjut di tulisan yang akan datang. Sekarang kita bahas prinsip dasar yang lain dulu, yang tidak berhubungan dengan probabilitas. ^^
1.3. Asas Ketidakpastian Heisenberg (AKH)
Dalam AKH, “ketidakpastian” terjadi dalam konteks pengukuran. Bagaimanapun telitinya suatu pengukuran dilakukan, pasti terdapat ketidakakuratan dalam skala tertentu. Mustahil seseorang bisa mengukur besaran fisis dengan akurasi 100%.
Contoh dunia makro-nya mungkin begini:
Prosesnya kurang lebih bisa digambarkan sebagai berikut:
Sialnya, ini berarti satu hal: kita mengukur properti elektron yang sudah dipengaruhi oleh foton. Dalam ilustrasi di atas tumbukan foton mengakibatkan pergeseran posisi. Meskipun demikian, pada obyek yang bergerak, keadaannya lebih rumit lagi: bukan saja posisi elektron yang terpengaruh, kecepatannya pun ikut terganggu.
Walhasil, kita pun gagal mengetahui kondisi elektron yang sebenarnya.
Ketidakpastian inilah yang disorot oleh Werner Heisenberg. Menurut beliau,
1.4. Dualisme Gelombang-Partikel
Nah, di mekanika kuantum, ada masalah yang sama — tetapi dengan kesimpulan yang berbeda.
Jika Anda berpikir demikian, maka Anda sedang menapaki jalan yang pernah dilewati para fisikawan masa lalu. Sesungguhnya keanehan ini bisa dibagi sebagai berikut:
Jika diamati dengan metode gelombang, terlihat bahwa cahaya mempunyai panjang gelombang, bisa dibiaskan, bisa didifraksikan, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, jika diamati sebagai partikel, terlihat bahwa cahaya bisa mempengaruhi elektron dan mempunyai energi yang terkuantisasi.
Paradoks ini akhirnya dipecahkan oleh fisikawan Paul Dirac. Ia menyatakan bahwa cahaya (dan gelombang elektromagnetik pada umumnya) adalah partikel yang berperilaku seperti gelombang.
Ini menjelaskan mengapa cahaya bisa berperilaku seperti partikel, tetapi di sisi lain juga menunjukkan sifat gelombang. Menariknya, kesimpulan kasus ini sejalan dengan kisah sekumpulan orang buta yang memegang gajah. Tak ada yang tahu keadaan yang sebenarnya, tetapi deskripsi mereka saling melengkapi. ^^
1.5. Nonlokalitas
Anda mungkin masih ingat, di pelajaran kimia SMA, terdapat aturan mengenai spin elektron. Jika terdapat dua buah elektron yang berpasangan, maka salah satunya harus memiliki arah putaran yang berbeda.
Seandainya elektron yang satu memiliki spin searah jarum jam, maka yang satu lagi akan berputar ke arah berlawanan. Demikian pula sebaliknya.
Konsep ini disebut sebagai perpasangan yang terikat (alias entanglement).
Untuk membuktikannya, para ilmuwan kemudian merancang sebuah eksperimen (umum disebut: Percobaan Bell). Hasil yang didapat ternyata mengejutkan:
Satu hal yang pasti, Percobaan Bell menyatakan bahwa terdapat elektron yang berubah spin ketika sedang “terbang”. Asumsinya sederhana:
Baik, jadi elektron saling menyesuaikan diri. Tapi memangnya kenapa kalau begitu?
Itu berarti, elektron saling mempengaruhi tanpa tergantung jarak. Lebih jauh lagi, interaksi ini dilakukan tanpa adanya perantaraan benda apapun. Para elektron ini terhubung secara misterius — seolah-olah, seperti apa keadaan yang satunya, maka yang lain akan menyesuaikan diri!
Inilah yang disebut sebagai interaksi nonlokal.
Dan, seolah belum cukup, ada yang lebih aneh lagi. Interaksi ini berlangsung seketika, melampaui kecepatan cahaya. Sedangkan kecepatan cahaya — menurut relativitas Einstein — adalah kecepatan interaksi maksimal di alam. Alhasil, terdapat kemungkinan bahwa entanglement ini terjadi lewat “jalan lain” yang…
…mem-bypass hukum alam. It’s a mystery.
Tentunya ini menimbulkan spekulasi bahwa ada “yang tidak alami” yang bekerja di alam. Meskipun begitu, saya akan cukupkan pembahasan sampai di sini. Tentang dampak filosofis lebih lanjut, silakan tunggu bagian yang akan datang.
1.6. End Note: Kesimpulan Sementara
Jadi, sejauh ini, saya sudah menjelaskan beberapa gejala QM yang agak bertabrakan dengan pengalaman sehari-hari. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa saya baru menjelaskan konsep tersebut apa adanya. Masih ada implikasi dan interpretasi dari gejala-gejala tersebut, yang — IMO — akan lebih cocok untuk dibahas secara terpisah.
Adapun di tulisan ini, kita melihat bahwa QM memiliki beberapa sifat yang non-intuitif, yakni:
http://sora9n.wordpress.com/2008/09/02/sedikit-tentang-mekanika-kuantum-dan-filosofinya-25/
II
- Lebih lanjut: Wave Function ; Probability ; Schrödinger Equation
Catatan:Adapun persamaan matematisnya adalah sebagai berikut.
Sebenarnya kegunaannya bukan cuma di mekanika kuantum. Fisika Newton pun bisa dijelaskan dengan fungsi gelombang; sehingga fungsi ini aslinya bernilai universal. Meskipun begitu kita tak akan membahas hal itu untuk saat ini.
Keterangan:Persamaan ini ditemukan oleh Erwin Schrödinger di tahun 1925.
= fungsi gelombang Schrödinger
= konstanta Planck (h) / 2π
= operator diferensial parsial terhadap waktu
= operator del
= energi potensial benda (fungsi dari x, y, z, dan t)
Ketika pertama kali menemukan persamaan di atas, Schrödinger baru berhasil meramu sebuah fungsi energi universal, dengan fungsi gelombang ψ sebagai solusi persamaannya. Meskipun begitu, ada yang belum jelas: sebenarnya, fungsi gelombang itu melambangkan apa?
Jawaban untuk ini ditemukan oleh fisikawan Max Born di tahun 1926. Menurut Born,
“Fungsi gelombang ψ menunjukkan amplitudo probabilitas. Ia melambangkan sebaran kemungkinan perubahan elektron dari sebuah kondisi awal m menuju kondisi baru n.Dengan kata lain, fungsi gelombang melambangkan elemen probabilitas. Tidak ada yang pasti di dunia kuantum — yang ada hanyalah the most likely condition that may occur.
“Di sini ψ tidak memiliki konsep fisik. Jika kita mengambil nilai mutlak ψ dan menguadratkannya ( |ψ|2), barulah kita mendapatkan probabilitas fisik dari partikel yang dimaksud.”
Tak bisa tidak, penemuan ini mengubah wajah ilmu alam secara drastis. Ternyata alam yang kita diami bersifat probabilistik!
Tentunya ini merupakan ancaman terhadap determinisme. Tetapi, sebagaimana yang sudah saya siratkan, pembahasan tentang ini akan saya tunda sampai bagian empat yang akan datang.
……
1.2. Akibat Probabilitas: Superposisi Keadaan
- Lebih lanjut: Quantum Superposition ; Schrödinger’s Cat
Selama ini, kita mengetahui bahwa elektron bergerak memutari inti atom. Ini adalah gerak revolusi. Meskipun demikian, tafsiran Born memberikan makna baru atas pengertian ini:
Misalnya kita membagi zona elektron menjadi tiga. Pertama, daerah sekitar orbit (zona A); kedua daerah agak jauh dari orbit (zona B); dan ketiga daerah sangat jauh dari orbit (zona C).Jika dijelaskan dengan gambar,
Apabila probabilitas elektron di zona A 70%, maka di zona B lebih kecil daripada itu. Mungkin 21%. Sementara zona C menampung sisa probabilitas dari A dan B, yakni 100% – 70% – 21% = 9%.
Di sini terlihat bahwa orbit elektron bukanlah suatu kepastian. Melainkan, daerah sekitar orbit adalah daerah di mana elektron paling mungkin berada.
kiri: tempat berjalannya elektron diasumsikan tertentu
kanan: sebaran probabilitas posisi elektron, menurut Born
Nah, tapi ada masalah.
Menurut Born, semua tergantung pada probabilitas. Ini membuat sebagian fisikawan terguncang — secara tidak langsung Born menyatakan bahwa terdapat lebih dari satu kenyataan yang bisa terjadi.
Elektron yang kita singgung sebelumnya bisa saja hadir di zona A, B, atau C. Semuanya mungkin; yang membedakan hanyalah derajat probabilitasnya saja.
Melihat kisruh ini, Erwin Schrödinger turun tangan. Ia menantang Born dengan melempar sebuah paradoks:
“Misalnya terdapat sebuah kotak. Di dalamnya kita siapkan labu gas beracun dan palu yang terhubung dengan pencacah Geiger. Jika pencacah Geiger berbunyi, maka palu akan jatuh dan memecah labu gas beracun.Konsep di mana kejadian-kejadian yang mungkin ini saling bertumpuk, inilah yang dinamakan sebagai superposisi kuantum.
“Kemudian kita masukkan seekor kucing bersama zat radioaktif, yang probabilitas peluruhannya sebesar 50% dalam satu jam.
“Dengan demikian, setelah satu jam, kemungkinannya sama — yakni gas beracun mengalir (kucing mati) atau gas beracun tetap tersimpan (kucing hidup).
“Ini berarti kucing mati sekaligus hidup. Bagaimana mungkin ini terjadi?”
Kasarnya, inilah kondisi di mana kucing Schrödinger berada antara kondisi mati dan hidup. Hal yang sama berlaku pada contoh elektron kita sebelumnya: terdapat kondisi di mana elektron belum pasti berada di zona A, B, maupun C. Lalu, bagaimana solusinya?
Hal ini akan kita bahas lebih lanjut di tulisan yang akan datang. Sekarang kita bahas prinsip dasar yang lain dulu, yang tidak berhubungan dengan probabilitas. ^^
……
1.3. Asas Ketidakpastian Heisenberg (AKH)
- Lebih lanjut: Uncertainty Principle ; Observer Effect Lihat juga: Bohr-Einstein Debates
Dalam AKH, “ketidakpastian” terjadi dalam konteks pengukuran. Bagaimanapun telitinya suatu pengukuran dilakukan, pasti terdapat ketidakakuratan dalam skala tertentu. Mustahil seseorang bisa mengukur besaran fisis dengan akurasi 100%.
Contoh dunia makro-nya mungkin begini:
Misalnya Anda hendak mengukur suhu air panas dalam mangkok. Maka, Anda akan mengambil termometer dan mencelupkannya ke air tersebut. Dari sini didapat nilai temperatur yang dicari.Nah, di skala atom, hal yang sama juga terjadi. Bagaimana cara mengukur gerakan elektron? Dengan memanfaatkan partikel foton. Elektron yang sedang bergerak ditumbuk oleh foton, kemudian foton tersebut dideteksi energinya.
Tetapi ada masalah. Termometer adalah benda fisik. Ketika termometer dicelupkan, akan terjadi aliran kalor dari air menuju termometer (karena suhu termometer lebih rendah). Termometer pun jadi lebih hangat.
Alhasil, yang terukur bukanlah suhu air sebenarnya — melainkan suhu air yang sudah dipengaruhi oleh termometer.
Prosesnya kurang lebih bisa digambarkan sebagai berikut:
[image courtesy of wikipedia]
Sialnya, ini berarti satu hal: kita mengukur properti elektron yang sudah dipengaruhi oleh foton. Dalam ilustrasi di atas tumbukan foton mengakibatkan pergeseran posisi. Meskipun demikian, pada obyek yang bergerak, keadaannya lebih rumit lagi: bukan saja posisi elektron yang terpengaruh, kecepatannya pun ikut terganggu.
Walhasil, kita pun gagal mengetahui kondisi elektron yang sebenarnya.
Ketidakpastian inilah yang disorot oleh Werner Heisenberg. Menurut beliau,
“Mustahil untuk bisa mengukur secara tepat posisi sekaligus momentum* partikel yang bergerak. Apabila posisinya diketahui, maka momentumnya tidak akurat. Sebaliknya jika momentumnya diketahui, maka posisinya lah yang tidak akurat.”Dengan demikian, terucaplah Asas Ketidakpastian Heisenberg. Menariknya, konsep ini kemudian turut menggoyang prinsip determinisme di bidang filsafat — bersama dengan probabilitas yang sudah disebut sebelumnya. Hal tersebut akan kita bahas lebih lanjut di tulisan bagian empat.
*) momentum = kecepatan dikali massa.
……
1.4. Dualisme Gelombang-Partikel
- Lebih lanjut: Wave-Particle Duality ; Complementarity Principle
“Jika terdapat dua penggambaran yang berbeda terhadap satu hal, maka salah satunya pasti salah.”Sekilas ini merupakan konsep yang umum. Jika saya berkata bahwa bola itu bulat, sementara Anda berkata bahwa bola itu kotak, maka jelas ada yang salah. Entah itu saya yang salah, atau Anda yang salah — atau malah dua-duanya yang salah!
Nah, di mekanika kuantum, ada masalah yang sama — tetapi dengan kesimpulan yang berbeda.
“Jika cahaya diamati dengan metode gelombang, maka ia akan menghasilkan sifat gelombang. Tetapi, jika diteliti dengan metode partikel, ia akan menunjukkan sifat partikel.”Kok bisa begitu? Aneh!
(Prinsip Saling Melengkapi/Komplementaritas)
Jika Anda berpikir demikian, maka Anda sedang menapaki jalan yang pernah dilewati para fisikawan masa lalu. Sesungguhnya keanehan ini bisa dibagi sebagai berikut:
Jika diamati dengan metode gelombang, terlihat bahwa cahaya mempunyai panjang gelombang, bisa dibiaskan, bisa didifraksikan, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, jika diamati sebagai partikel, terlihat bahwa cahaya bisa mempengaruhi elektron dan mempunyai energi yang terkuantisasi.
Paradoks ini akhirnya dipecahkan oleh fisikawan Paul Dirac. Ia menyatakan bahwa cahaya (dan gelombang elektromagnetik pada umumnya) adalah partikel yang berperilaku seperti gelombang.
Ini menjelaskan mengapa cahaya bisa berperilaku seperti partikel, tetapi di sisi lain juga menunjukkan sifat gelombang. Menariknya, kesimpulan kasus ini sejalan dengan kisah sekumpulan orang buta yang memegang gajah. Tak ada yang tahu keadaan yang sebenarnya, tetapi deskripsi mereka saling melengkapi. ^^
……
1.5. Nonlokalitas
- Lebih lanjut: Nonlocality ; Quantum Entanglement
Anda mungkin masih ingat, di pelajaran kimia SMA, terdapat aturan mengenai spin elektron. Jika terdapat dua buah elektron yang berpasangan, maka salah satunya harus memiliki arah putaran yang berbeda.
Seandainya elektron yang satu memiliki spin searah jarum jam, maka yang satu lagi akan berputar ke arah berlawanan. Demikian pula sebaliknya.
Konsep ini disebut sebagai perpasangan yang terikat (alias entanglement).
Kalau Anda agak lupa, di pelajaran SMA efek ini dikaitkan dengan Asas Larangan Pauli. ^^Kemudian timbul pertanyaan. Apa yang terjadi jika dua buah elektron dipisahkan jauh-jauh? Akankah mereka juga memiliki spin yang bertolak belakang?
Untuk membuktikannya, para ilmuwan kemudian merancang sebuah eksperimen (umum disebut: Percobaan Bell). Hasil yang didapat ternyata mengejutkan:
Dua buah elektron yang ditembakkan ke arah berlawanan ternyata selalu saling menyesuaikan diri.
Lebih ajaib lagi: penyesuaian ini berlangsung seketika ketika elektron terpisah jarak!!
*) Penjelasan lebih lengkap tentang Percobaan Bell bisa Anda baca di sini dan sini.
Skema Percobaan Bell — Courtesy of Wikipedia
Satu hal yang pasti, Percobaan Bell menyatakan bahwa terdapat elektron yang berubah spin ketika sedang “terbang”. Asumsinya sederhana:
Jika elektron tidak pernah mengubah spin, maka peluang bahwa kedua detektor memberikan hasil identik adalah lebih besar atau sama dengan n. Dalam bentuk matematik kita nyatakan “peluang memberi hasil identik” sebagai P(identik).
P(identik) ≥ nTergantung sudut pandang percobaan, n bisa bernilai 5/9 atau 1/3 (cek link yang saya sertakan sebelumnya).
n1 = 5/9 …… (percobaan I)n2 = 1/3 …… (percobaan II)
Meskipun demikian, eksperimen memberikan data kejadian sebesar:
P1(identik) ≥ 0.5 …… (percobaan I)P2(identik) ≥ 0.25 …… (percobaan II)
Nilai tersebut lebih kecil daripada n1 dan n2 yang disepakati sebelumnya. Dengan demikian, asumsi Bell bahwa elektron tidak mengubah spin/menyesuaikan diri terbukti SALAH.
Baik, jadi elektron saling menyesuaikan diri. Tapi memangnya kenapa kalau begitu?
Itu berarti, elektron saling mempengaruhi tanpa tergantung jarak. Lebih jauh lagi, interaksi ini dilakukan tanpa adanya perantaraan benda apapun. Para elektron ini terhubung secara misterius — seolah-olah, seperti apa keadaan yang satunya, maka yang lain akan menyesuaikan diri!
Inilah yang disebut sebagai interaksi nonlokal.
Dan, seolah belum cukup, ada yang lebih aneh lagi. Interaksi ini berlangsung seketika, melampaui kecepatan cahaya. Sedangkan kecepatan cahaya — menurut relativitas Einstein — adalah kecepatan interaksi maksimal di alam. Alhasil, terdapat kemungkinan bahwa entanglement ini terjadi lewat “jalan lain” yang…
…mem-bypass hukum alam. It’s a mystery.
Tentunya ini menimbulkan spekulasi bahwa ada “yang tidak alami” yang bekerja di alam. Meskipun begitu, saya akan cukupkan pembahasan sampai di sini. Tentang dampak filosofis lebih lanjut, silakan tunggu bagian yang akan datang.
……
1.6. End Note: Kesimpulan Sementara
Jadi, sejauh ini, saya sudah menjelaskan beberapa gejala QM yang agak bertabrakan dengan pengalaman sehari-hari. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa saya baru menjelaskan konsep tersebut apa adanya. Masih ada implikasi dan interpretasi dari gejala-gejala tersebut, yang — IMO — akan lebih cocok untuk dibahas secara terpisah.
Adapun di tulisan ini, kita melihat bahwa QM memiliki beberapa sifat yang non-intuitif, yakni:
Sekian post kali ini, semoga bisa memberikan pencerahan. Koreksi dan masukan, apabila ada di antara pembaca yang berkompeten, sangat diharapkan.
Probabilistik,
Tidak pasti secara pengukuran,
Mengindikasikan prinsip komplementaritas pada cahaya,
Memungkinkan terjadinya nonlokalitas
http://sora9n.wordpress.com/2008/09/02/sedikit-tentang-mekanika-kuantum-dan-filosofinya-25/
II
Paradoks dan Keruntuhan Superposisi
2.1. Lebih Lanjut tentang Superposisi Kuantum
Berbicara superposisi, tentunya kita harus membahas dulu contoh kasus paling terkenal yang pernah hadir. Yak — apa lagi kalau bukan si kucing Schrödinger?
2.1.1. Revisiting the Schrödinger’s Cat
- Lebih lanjut: Schrödinger’s Cat ; Quantum Superposition
“Misalnya terdapat sebuah kotak. Di dalamnya kita siapkan labu gas beracun dan palu yang terhubung dengan pencacah Geiger. Jika pencacah Geiger berbunyi, maka palu akan jatuh dan memecah labu gas beracun.Inilah paradoks kucing Schrödinger. Dengan harapan menumbangkan tafsiran Born, Schrödinger menyampaikan sebuah skenario ekstrim yang tak masuk akal… mungkinkah kucing mati sekaligus hidup di satu waktu?
“Kemudian kita masukkan seekor kucing bersama zat radioaktif, yang probabilitas peluruhannya sebesar 50% dalam satu jam.
“Dengan demikian, setelah satu jam, kemungkinannya sama — yakni gas beracun mengalir (kucing mati) atau gas beracun tetap tersimpan (kucing hidup).
“Ini berarti kucing mati sekaligus hidup. Bagaimana mungkin ini terjadi?”
Para ilmuwan kemudian menyebut kondisi campuran ini sebagai superposisi keadaan. Fokus kini teralih pada Max Born — mampukah ia menjawab tantangan?
Di luar dugaan, Born ternyata bisa menjawab dengan tangkas.
“Jika tutup kotak dibuka, maka kita akan tahu keadaan si kucing: apakah kucing sudah mati, atau masih hidup. Di sini cuma ada satu kemungkinan yang bisa jadi kenyataan.Intinya, menurut Born, hanya ada satu kemungkinan yang boleh mewujud. Apakah kucing mati, atau hidup? Tidak mungkin dua-duanya terjadi bersamaan.
“Probabilitas kuantum berfungsi sebagai perkiraan, tetapi pengukuranlah yang memberi kepastian.”
Probabilitas kuantum adalah petunjuk. Tetapi, kenyataan cuma ada satu! Ini jelas meruntuhkan klaim Schrödinger bahwa kucing terjebak antara fase “hidup” dan “mati”.
Tapi, benarkah demikian?
2.1.2. Masih adakah Superposisi?
Argumen Schrödinger seolah tumpas oleh penjelasan Born. Pengukuran selalu memberikan hasil tunggal; inilah sebabnya kita tak pernah menemukan kucing “setengah mati-setengah hidup” di dunia nyata. Meskipun demikian, masih ada masalah.
“Kucing memang terpastikan keadaannya setelah kita melakukan pengamatan. Tetapi, bagaimana jika kita tak pernah membuka tutup kotak?”Jika kotak tak pernah dibuka, tentunya kita tak tahu apakah kucing mati atau hidup. Kita bisa saja memasukkan kucing ke dalam kotak, lalu kotaknya kita kubur, dan kita pergi jalan-jalan ke mall. Kabar si kucing?
Sabodo teuing. Don’t know, don’t care.
…
Tetapi, coba sudut pandangnya diubah. Satu jam kemudian… bagaimana sebenarnya nasib kucing yang kita kubur?
Kemudian kita sadar: kepastian belum didapat. Kucing masih sama mungkinnya antara hidup dan mati!!
Inilah paradoks terbesar yang dihadirkan oleh percobaan Kucing Schrödinger. Bahwasanya,
Selama tak dilakukan pemeriksaan, kemungkinan kucing mati atau hidup sama-sama 50%. Mengikut ide Schrödinger, maka kucing akan berada dalam keadaan superposisi (antara mati dan hidup).Penjelasan di atas, sesungguhnya, memiliki konsekuensi filosofis yang sangat serius. Apa yang serius?
Jika tafsiran probabilistik benar, maka hal ini akan terus berlangsung sampai keadaan menjadi terpastikan (i.e. melalui pengamatan).
Yang serius adalah penjelasan akan superposisi itu sendiri:
Tak ada jalan bagi kita untuk mengetahui keadaan kucing sebelum kotak dibuka. Apakah kucing mengalami superposisi, atau tidak?Ganti kata “kucing” dengan “atom”, “elektron”, “partikel”, atau apapun gejala alam yang coba dijelaskan oleh QM — dan “kotak dibuka” dengan “pengukuran”.
Jika kita mencoba mengamati, maka hilanglah keadaan tersebut.
Keadaan kucing sebelum kotak dibuka tak bisa diverifikasi, difalsifikasi, ataupun dibuktikan secara empiris.
Pembaca yang terbiasa dengan filsafat mungkin segera tahu ke mana larinya diskusi ini, dan apa yang ‘luar biasa’ dari ilustrasi di atas. Meskipun demikian, diskusi filosofisnya saya simpan untuk bagian empat yang akan datang.
Sekarang kita bahas dulu argumen Born tentang pengamatan.
……
2.2. Pengamatan yang Menentukan
- Lihat juga: Quantum Measurement Problem
Singkatnya, superposisi kenyataan memang tak terhindarkan, apabila kita bicara probabilitas. Meskipun demikian, terdapat kata kunci yang menentukan di sini: “pengamatan”.
Hasil percobaan QM selalu mengikuti sebaran probabilistik.
Ini mendukung teori Born: fungsi gelombang adalah elemen probabilitas suatu benda.
Dengan demikian, seluruh sistem fisika kuantum berlandaskan pada sifat kebolehjadian/probabilitas.
Alhasil, keadaan sistem kuantum tidak pernah pasti sampai kita melakukan pengamatan*. Kondisi di mana sistem ini belum pasti, inilah yang disebut sebagai superposisi keadaan.
Jika pengamatan sudah dilakukan, maka superposisi akan hilang. Hanya ada satu keadaan yang kita temui.
*) Perlu dicatat bahwa “pengamatan” di sini tidak berarti harus melibatkan manusia. Jika kita hendak mengukur spin elektron, maka sebuah detektor pun bisa dianggap sebagai “pengamat”. Di sini kita menggunakan kata tersebut dalam makna luas.
Betapapun banyaknya kenyataan yang bisa terjadi, semua itu runtuh menjadi satu hasil akhir setelah pengamatan dilakukan. Inilah sebabnya terdapat perkataan: “pengamatan memegang peran penting di dunia kuantum”.
Pernyataan ini kemudian diperluas dalam bentuk sebagai berikut:
“Pengamatan” bisa direduksi sebagai interaksi antara sistem kuantum dengan benda asing, e.g. elemen detektor. Sedangkan pengamatan meruntuhkan superposisi.Penjelasan ini cukup mudah untuk dibayangkan. Misalnya saya punya sebuah atom yang belum diukur, dan kemudian ada foton nyasar yang menumbuk elektron di dalamnya. Maka posisi elektron tersebut otomatis terpastikan — ia bukan lagi sebentuk probabilitas, melainkan sudah “mengada”.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan: interaksi antara sistem kuantum dengan benda asing apapun dapat meruntuhkan superposisi.
Dengan demikian, interaksi sistem kuantum dengan benda asing di luarnya — termasuk alam sekitar — akan menyebabkan efek pengamatan, yakni hilangnya superposisi keadaan.
Misalnya seperti berikut:
Elektron masih belum jelas berada di mana
Kemudian ada seberkas foton entah dari mana…
Ha! Ketahuan!
Menariknya, elektron yang tadinya konsep probabilitas (abstrak) tiba-tiba “mengada” secara fisik. Tentunya ini bisa jadi bahasan filosofis yang menarik. Tetapi — lagi-lagi — diskusi filosofisnya saya tunda sampai bagian empat. =9
……
2.3. Kemungkinan yang Terpastikan
- In the end, there can be only one. ~ Highlander (1986)
(1) Bagaimana proses menghilangnya superposisi?Inilah yang kemudian menjadi perselisihan. Boleh jadi dampak yang diakibatkan oleh pengamatan lebih dalam daripada yang terlihat.
Dan, yang tak kalah pentingnya,
(2) Apa yang terjadi dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terwujud?
Mengenai hal ini, pendapat para fisikawan umumnya terbagi dua. Ringkasan dari kedua pandangan tersebut akan saya jabarkan di bawah ini.
2.3.1. Keruntuhan Fungsi Gelombang
- Lebih lanjut: Wave Function Collapse
Ketika superposisi terjadi, setiap kemungkinan memiliki sebuah “nilai”. “Nilai” ini bersifat unik, tertentu, dan menghubungkan dua keadaan — yakni masa kini dan masa depan.Singkatnya, fungsi gelombang mengalami keruntuhan. Kolaps. Dari banyaknya kemungkinan yang ada, alam memilih satu kejadian — berdasarkan derajat probabilitasnya — sambil mengorbankan yang lain. Jika Anda pernah belajar biologi, ini identik dengan banyaknya sperma yang gugur sebelum mampu membuahi sel telur. ^^
(dalam matematika, konsep ini diwakili oleh eigenvalue)
Setelah pengamatan dilakukan, maka fungsi gelombang akan tereduksi menjadi sebuah keadaan tunggal (eigenstate). Inilah yang hasil akhir yang bisa kita amati.
Keruntuhan ini mewujudkan sebuah probabilitas secara fisik. Di sisi lain, probabilitas lain yang sebelumnya ada kini terkalahkan: mereka kehilangan makna fisik dan menghilang.
Ilustrasinya kira-kira seperti berikut.
Teori ini diterima karena gagasannya yang relatif simpel-tapi-tepat sasaran. Jika kita melakukan percobaan kucing Schrödinger, misalnya, dan ternyata kucing mati, maka probabilitas “kucing hidup” telah kehilangan makna fisis. Vice-versa jika ternyata kucing masih hidup. Kejadian yang kita amati bisa mewujud karena telah “mematikan” kemungkinan-kemungkinan yang lain; inilah yang coba disampaikan oleh KFG.
Update:
Secara teknis, probabilitas yang ‘hilang’ gagal mewujud karena sarana fisiknya sudah diambil. E.g. dalam kasus kucing Schrödinger, sarana fisik untuk mewujud cuma ada satu (“kucing”).
Nah, menurut KFG, sarana fisik ini diperebutkan oleh dua probabilitas (“kucing mati” / “kucing hidup”). Probabilitas yang menang mendapat wujud fisik, sementara yang kalah terpaksa mengabstrak/tak bisa mewujud.
—cek juga di komentar saya yang ini
Meskipun demikian, kesuksesan KFG tidak berhenti sampai di sini. Pada gilirannya KFG akan turut menyumbang pada berbagai interpretasi mainstream di dunia QM — hal ini akan saya bahas di bagian tiga yang akan datang.
2.3.2. Dekoherensi Kuantum
- Lebih lanjut: Quantum Decoherence
Jika KFG menyatakan bahwa fungsi gelombang tereduksi begitu saja setelah pengamatan, maka DK memberikan tafsiran yang sama sekali lain. Ada dua landasan yang diketengahkan oleh DK — kita akan membahasnya satu per satu.
Teori DK #1: Superposisi di Skala KuantumBerubahnya fasa yang tadinya sama menjadi berbeda, inilah yang disebut sebagai dekoherensi. Jika digambarkan dengan diagram,
Ketika sebuah sistem kuantum (e.g. atom, elektron) mengalami superposisi, setiap kemungkinan memiliki sebuah “nilai”. “Nilai” ini bersifat unik, tertentu, dan menghubungkan dua keadaan — yakni masa kini dan masa depan.
(sama dengan KFG)
Meskipun demikian, semua kemungkinan tersebut saling terikat dan memiliki fasa* yang sama.
Apabila pengamatan dilakukan, maka salah satu probabilitas** akan menyesuaikan fasa dengan lingkungan. Sedangkan yang lainnya mengalami pergeseran fasa, menjadi tak bisa teramati oleh kita.
*) Fasa: elemen yang terdapat dalam fungsi kompleks, i.e. mengandung nilai real dan imajiner. Fungsi gelombang adalah fungsi kompleks.
**) Di sini kemungkinan dipandang sebagai fungsi gelombang masa depan.
Tentunya kemudian timbul pertanyaan: ke mana perginya fungsi-fungsi gelombang yang tak teramati. Ada dua kemungkinan untuk ini.
Pertama, fungsi gelombang tersebut meresap dan bergabung ke lingkungan sekitar. Kurang lebih mirip dengan batu yang dicemplungkan ke tengah laut: efeknya ke laut sih ada (misalnya riak, bunyi “plung”, dan tinggi airnya bertambah), tetapi kecil saja dibanding keseluruhan sistem. ^^
Kedua, kemungkinan tersebut tidak hilang, tetapi mewujud di… dunia paralel.
Meskipun begitu, soal dunia paralel ini tidak akan saya bahas sampai post berikutnya. Sekarang kita akan membahas butir berikutnya dari teori DK, yakni superposisi di ranah makro.
Teori DK #2: Superposisi di Skala MakroBagian inilah yang benar-benar membedakan antara KFG dengan DK. Jika KFG memungkinkan terjadinya paradoks seperti Kucing Schrödinger, maka DK tidak membolehkannya sama sekali. Selalu ada hambatan lingkungan sebagaimana yang dijelaskan di atas — superposisi tidak pernah mewujud di dunia makro.
Sebenarnya, superposisi di skala makro (e.g. kucing Schrödinger) tidak benar-benar terjadi.
Superposisi berawal di skala kuantum. Meskipun demikian, superposisi ini tak pernah bertahan lama — selalu ada gangguan-gangguan dari luar yang bisa merobohkan superposisi tersebut.
(ingat penjelasan sebelumnya mengenai konteks “pengamatan”, i.e. interaksi dengan lingkungan)
Dunia makro memiliki banyak gangguan/interaksi dengan alam: cahaya, panas, statik, dan lain-lain. Probabilitas kuantum akan terkikis oleh gangguan-gangguan ini sebelum sempat “beraksi” di dunia nyata.
Alam semesta kita dipenuhi oleh berbagai ‘gangguan’ yang bisa berinteraksi dengan sistem kuantum. Berkas cahaya, radiasi elektromagnet, dan kontak dengan permukaan materi — semua itu berpotensi melakukan ‘efek pengamatan’ yang kita singgung di bagian sebelumnya!
Pembahasan kita mengenai dunia kuantum sejauh ini, ternyata tidak memasukkan variabel lingkungan alam sama sekali. Inilah lubang kelemahan yang diincar oleh DK. Alhasil, kucing Schrödinger kini bukan lagi sebuah paradoks… setidaknya menurut DK. ^^;
2.3.3. Jadi, yang Mana yang Benar?
Nah, hal ini masih diperdebatkan oleh para fisikawan. Salah satu pangkal masalahnya ada pada apakah fungsi gelombang dianggap entitas fisik atau nonfisik. Dan apakah kasus-kasus dalam pengukuran kuantum harus dipandang secara individual, general, atau statistik? Ini yang butuh penelaahan lebih jauh.
Sebuah interpretasi QM bisa saja menjelaskan berbagai gejala dengan baik menggunakan KFG (misal: tafsiran Kopenhagen), tetapi bukan tak mungkin ada interpretasi lain yang setara justru menggunakan DK (misal: MWI, Bohm). Yang penting, bagaimana interpretasi tersebut bekerja secara keseluruhan.
Inilah sebabnya terdapat berbagai interpretasi QM yang berlandaskan pada baik DK maupun KFG. Bagaimanapun, kedua teori tersebut masih diakui hingga saat ini. ^^
……
2.4. End Note: Kesimpulan Sementara
Akhirnya kita sampai di bagian akhir pembahasan. Berdasarkan penjelasan yang telah kita lalui, maka kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Sekian untuk post kali ini. Di bagian berikutnya, kita akan membahas sekilas beberapa interpretasi mainstream di dunia QM, bersama dengan feature-feature unik yang mereka miliki. ^^
Superposisi kuantum adalah hal yang tak terhindarkan di dunia QM (konsep probabilitas Born).
Meskipun demikian, superposisi mustahil untuk diamati. Setiap upaya pengukuran, atau interaksi dengan alam sekitar, akan langsung meruntuhkan superposisi pada saat itu juga.
Terdapat dua teori pembentukan kenyataan kuantum, yakni (1) Keruntuhan Fungsi Gelombang, (2) Dekoherensi Kuantum. Keduanya sama-sama diakui oleh kalangan fisika modern.
Akhir kata, semoga bisa memberikan pencerahan. Koreksi dan masukan — apabila ada di antara pembaca yang berkompeten — sangat diharapkan.
http://sora9n.wordpress.com/2008/09/02/sedikit-tentang-mekanika-kuantum-dan-filosofinya-25/
III
Beberapa Interpretasi Mainstream
Sebelum membahas tentang interpretasi QM, ada baiknya jika kita melongok sekilas poin-poin penting dunia kuantum. Bisa dibilang bahwa ini adalah semacam guideline, pijakan berpikir, yang digunakan oleh para ilmuwan dalam menganalisis gejala QM.
Landasan berpikir ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Empat “pilar” di atas diturunkan dari Tafsiran Kopenhagen, yakni interpretasi QM pertama yang muncul di tahun 1927. Bisa dibilang ini adalah semacam konsensus yang berlaku di dunia QM.
Keseluruhan sistem mekanika kuantum dapat dideskripsikan menggunakan fungsi gelombang
(temuan Erwin Schrödinger)
Deskripsi sistem kuantum bersifat probabilistik, karena fungsi gelombang itu sendiri melambangkan probabilitas
(temuan Max Born)
Tidak mungkin kita bisa mengetahui posisi dan momentum partikel secara akurat di satu waktu
(Asas Ketidakpastian Heisenberg)
Semakin banyak atom yang dimiliki suatu benda, maka efek kuantum akan makin berkurang. Perilaku benda akan makin dekat dengan prinsip fisika klasik
(menjelaskan perbedaan antara fisika kuantum dan makro)
Setelah memahami guideline di atas, maka kita siap melangkah lebih lanjut. Seperti apa saja interpretasi QM yang pernah muncul?
3.1. Tafsiran Kopenhagen (Ortodoks)
- Lebih lanjut: Copenhagen Interpretation
- Fitur Khusus:
- Hanya memandang penting besaran yang terukur (positivis logis)
- Mengakui Keruntuhan Fungsi Gelombang
- Menganut Prinsip Korespondensi
Seiring berjalannya waktu, para ilmuwan mulai mensintesis berbagai modifikasi dalam interpretasi ini. Sehingga kemudian terbentuk sebuah klasifikasi: Tafsiran Kopenhagen asli dipisahkan tersendiri, sedangkan turunan-turunannya digolongkan sebagai “Interpretasi Neo-Kopenhagen”. Adapun yang akan kita bahas sekarang adalah Tafsiran Kopenhagen Ortodoks — kelompok Neo-Kopenhagen menyusul.
Elemen Positivis Logis
Tafsiran Kopenhagen berpendapat bahwa gejala kuantum baru bisa diolah lebih lanjut apabila sudah diukur. Di sini, kondisi pra-pengukuran menjadi hal yang kurang penting. Inilah semangat positivis logis yang diusung Tafsiran Kopenhagen.
Apakah superposisi terjadi? Di mana elektron tadinya berada? Menurut Tafsiran Kopenhagen, ini bukanlah diskusi yang relevan. Kita hanya bisa mengolah data hasil pengukuran — dan, dengan demikian, hanya yang bisa diukurlah yang harus diperhatikan.
Jika diilustrasikan dengan percobaan Kucing Schrödinger,
Apakah Kucing Schrödinger mengalami superposisi di dalam kotak? Kita agnostik soal itu.Bisa dibilang bahwa tafsiran yang satu ini berhaluan ultra-pragmatis. ^^;; Di satu sisi, ia bisa menjelaskan gejala kuantum secara akurat. Di sisi lain, ia cenderung masabodoh dengan keadaan di luar pengukuran.
Yang terpenting adalah apakah kucing mati — atau hidup — setelah kotak dibuka. Baru dari sini kita mengolah data lebih lanjut.
Keruntuhan Fungsi Gelombang
Untuk menjelaskan hilangnya superposisi, Tafsiran Kopenhagen memakai penjelasan Keruntuhan Fungsi Gelombang (KFG). Lagi-lagi sejalan dengan semangat positivisme yang disinggung sebelumnya: kita tahu bahwa hanya ada satu kemungkinan yang mewujud lewat KFG, sementara sisanya diasumsikan menghilang/tak punya bentuk fisik.
Prinsip Korespondensi
Di tulisan yang lalu kita telah membahas teori menghilangnya superposisi di skala makro, i.e. dekoherensi kuantum. Sementara, Tafsiran Kopenhagen Ortodoks tidak mengenal ide tersebut, karena saat itu belum berkembang. Bagaimana mereka mengatasi hal ini?
Bohr dan Heisenberg kemudian merumuskan kaidah bernama Prinsip Korespondensi. Menurut prinsip ini, sistem banyak atom (skala makro) mengalami perata-rataan efek kuantum — sedemikian hingga hasil perata-rataan tersebut mendekati perilaku benda di fisika klasik/Newtonian.
Semakin banyak atom yang dimiliki oleh suatu benda, maka sifat kuantumnya akan semakin menghilang. Perlahan-lahan sifat tersebut digantikan dengan fisika klasik… kurang lebih demikian ide yang digagas kedua ilmuwan tersebut.
Meskipun demikian, sebagaimana yang disebut sebelumnya, Prinsip Korespondensi ini adalah hipotesis milik Tafsiran Kopenhagen ortodoks. Di masa kini para ilmuwan mulai memadukan prinsip Dekoherensi Kuantum ke dalam Tafsiran Kopenhagen; menghasilkan bentuk yang lebih modern dari interpretasi ini.
……
3.2. Neo-Kopenhagenisme
Sebenarnya Neo-Kopenhagenisme bukanlah “mazhab” resmi di dunia QM. Lebih tepat jika dikatakan bahwa Neo-Kopenhagenisme adalah cabang interpretasi QM yang berlandaskan Tafsiran Kopenhagen Ortodoks. Hanya saja di sana-sini telah mengalami modifikasi, sehingga detailnya jadi agak berbeda.
3.2.1. Tafsiran Kopenhagen Modern
- Lebih lanjut: Copenhagen Interpretation
(a) Mengadopsi prinsip Dekoherensi Kuantum untuk skala makro
Anda mungkin ingat, di tulisan yang lalu kita membahas dua butir dari teori Dekoherensi Kuantum (DK). Nah, yang diadopsi oleh Tafsiran Kopenhagen Modern adalah butir kedua.
Mengutip tulisan saya di post sebelumnya,
Teori DK #2Dengan demikian, Tafsiran Kopenhagen kini mulai memperhitungkan dampak interaksi lingkungan ke sistem kuantum. Lebih jauh lagi, ia juga mengakui bahwa superposisi di skala makro bersifat highly unlikely.
Superposisi berawal di skala kuantum. Meskipun demikian, superposisi ini tak pernah bertahan lama — selalu ada gangguan-gangguan dari luar yang bisa merobohkan superposisi tersebut.
(ingat penjelasan sebelumnya mengenai konteks “pengamatan”, i.e. interaksi dengan lingkungan)
Dunia makro memiliki banyak gangguan/interaksi dengan alam: cahaya, panas, statik, dan lain-lain. Probabilitas kuantum akan terkikis oleh gangguan-gangguan ini sebelum sempat “beraksi” di dunia nyata.
Meskipun begitu, perlu dicatat bahwa Tafsiran Kopenhagen mengadopsi pendekatan DK hanya dalam memahami dunia makro. Di level kuantum, Tafsiran Kopenhagen Modern meyakini bahwa fungsi gelombang benar-benar runtuh/tereduksi menjadi satu keadaan yang pasti.
Sedangkan DK percaya bahwa fungsi gelombang tak pernah runtuh. Perbedaan ini amat tipis. ^^
(b) Fungsi Gelombang mungkin bersifat fisik/nonfisik
Ini adalah perdebatan yang hangat di kalangan fisikawan mazhab Kopenhagen. Apakah fungsi gelombang harus dipandang sebagai entitas fisik? Atau nonfisik?
Tafsiran Kopenhagen Ortodoks mengatakan bahwa fungsi gelombang hanyalah pemetaan probabilitas; i.e. informasi yang bersifat nonfisik. Di sini timbul keraguan, sebab interaksi fisika mampu meruntuhkan fungsi gelombang.
Tetapi, di sisi lain, orang bertanya: bagaimana caranya mengonsepkan fungsi probabilitas secara fisik? Sementara persamaan Schrödinger sendiri adalah persamaan fundamental di dunia QM. Alhasil, para fisikawan kemudian terbagi dua kubu: yang satu memandang fungsi gelombang sebagai bentuk fisik, dan yang lainnya secara nonfisik.
Tentunya bisa ditebak bahwa kemudian muncul berbagai interpretasi baru dari pandangan fisik/nonfisik ini. Meskipun demikian, kita tak akan membahas itu lebih lanjut — sekarang waktunya sowan ke anggota lain dari keluarga Neo-Kopenhagen. ^^
3.2.2. Teori Keruntuhan Obyektif
- Lebih lanjut: Objective Collapse Theory
- Fitur Khusus:
- Keruntuhan Fungsi Gelombang dipicu oleh gejala kuantum tertentu
Secara kasar, dapat dikatakan bahwa superposisi akan runtuh jika threshold/batas bawah energi suatu sistem kuantum terlampaui. Jika batas bawah ini sudah lewat, maka superposisi akan runtuh seketika… keadaan benda pun terpastikan saat itu juga.
Inilah yang terjadi ketika pengamatan berlangsung. Pengamatan elektron dengan menggunakan penyinaran, misalnya, mengakibatkan adanya interaksi foton dengan sistem kuantum. “Campur tangan” foton tersebut membantu memenuhi batas bawah energi yang diperlukan — saat itu juga, superposisi akan runtuh! Inilah sebabnya pengamatan selalu memberikan hasil tunggal.
Ilustrasinya kira-kira sebagai berikut
Keadaan pra pengukuran; energi elektron di bawah ambang
(superposisi terjadi)
Foton menumbuk elektron ~ energi ambang terlewati
(superposisi runtuh)
Salah satu varian dari teori ini adalah Interpretasi Penrose (diusulkan oleh matematikawan Sean Penrose). Penrose menyumbang postulat bahwa superposisi kuantum dapat runtuh jika kita memperhitungkan efek gravitasi kuantum.
Intinya sendiri sama, yakni pemenuhan threshold energi — lewat gravitasi kuantum — untuk meruntuhkan superposisi. Meskipun begitu, kita tak akan membahas Penrose lebih lanjut… topik itu jauh terlalu advanced untuk kita bahas di sini. ^^;;
Side note:
BTW, Pak Penrose ini pernah bekerjasama dengan Stephen Hawking saat beliau membahas gravitasi lubang hitam. So there you have his idea.
3.2.3. Teori Pengamat Partisipatif
- Lebih lanjut: Anthropic Principle
- Fitur Khusus:
- Keruntuhan Fungsi Gelombang dipicu oleh pengamat berbasis kesadaran
Ilustrasinya sendiri relatif sederhana. Jika Anda melakukan percobaan Kucing Schrödinger dengan kotak kaca — Anda mengamati langsung kehidupan si kucing — maka Anda tak akan pernah melihat si kucing mengalami superposisi. Terlebih lagi, Anda juga hanya akan mendapatkan satu kenyataan. Apakah kucing mati, atau hidup, semuanya teramati langsung di depan mata Anda.
Dari sini berkembang praduga bahwa kesadaran manusia bersifat unik/tak bisa disamakan dengan alat ukur kuantum pada umumnya. Meskipun demikian, seiring berkembangnya penerimaan teori DK di kalangan Kopenhagen, ide ini mulai terpinggirkan. Mungkin bisa saya ilustrasikan sebagai berikut.
Pengamat manusia cuma bisa melihat apakah kucing mati atau hidup, sedangkan superposisi telah runtuh ketika peluruhan pertama terdeteksi oleh pencacah Geiger. Yang diamati pengamat adalah akibat keruntuhan fungsi gelombang — bukan keruntuhannya itu sendiri.Alhasil, Teori Pengamat Partisipatif kini relatif tak dianggap. Meskipun begitu, teori ini memiliki nilai historis yang signifikan. Inilah interpretasi pertama yang mengadopsi prinsip antropik dalam memahami dunia kuantum.
Ini membuat klaim “kesadaran meruntuhkan fungsi gelombang” kehilangan pijakan. Premis bahwa kesadaran manusia berperan penting telah terfalsifikasi. Selalu ada hambatan yang melarang superposisi kuantum merembet ke dunia makro… yang, faktanya, merupakan wilayah tempat kesadaran kita bekerja.
……
3.3. Many-worlds Interpretation (MWI)
- Lebih lanjut: Many-worlds Interpretation
- Fitur Khusus:
- Mengakui Dekoherensi Kuantum
- Kemungkinan yang tidak teramati mewujud di dunia paralel
- Terdapat fungsi gelombang universal di latar belakang
- Alam semesta deterministik
Otomatis, MWI menyatakan bahwa probabilitas yang gagal mewujud tidak menghilang. Probabilitas tersebut tetap ada. Hanya saja, karena adanya beda fasa, kemungkinan tersebut tak bisa diamati oleh kita.
Lain Dunia
Lebih jauh lagi dari MWI adalah penafsirannya yang, bisa dibilang, sangat radikal dalam memandang dunia. Alih-alih sekadar menyatakan bahwa “tidak ada probabilitas yang menghilang”, MWI membawa ide ini ke level yang berbeda:
Bukan saja probabilitas yang dimaksud tidak menghilang. Melainkan, setiap probabilitas yang pernah hadir akan mewujudkan dirinya di sebuah dunia paralel.Sebagai gambaran, apabila saya melakukan percobaan Kucing Schrödinger satu kali, maka terjadi satu kali split (percabangan realitas). Di satu dunia kucing saya mati — tetapi, di dunia yang satunya, kucing saya masih hidup. Inilah konsep pembelahan dunia a la MWI.
Bagaimana terciptanya dunia paralel?
Pada saat superposisi, terdapat n buah kemungkinan masa depan. Di titik ini alam semesta kita akan bercabang — sebanyak n buah — untuk menampung semua “masa depan” yang ada.
Di sini perlu dijelaskan bahwa MWI memandang setiap keadaan kuantum sebagai “terikat” (entangled) dengan dunia. Sebuah sistem kuantum tak bisa dipisahkan dengan pengamat, lingkungan alam, atom tetangga, dan lain-lain. Sehingga, apabila terjadi sebuah superposisi di skala atom, maka yang “terbelah” bukan atom itu saja: seluruh dunia, termasuk pengamat dan alam semesta, mengalami percabangan di saat yang sama!
Alhasil, jika MWI benar, maka akan ada “saya” versi lain di dunia yang berbeda. Mungkin saya yang tidak pernah menulis blog. Siapa yang tahu?
Fungsi Gelombang Universal
Yang juga menarik dari MWI adalah penafsirannya mengenai fungsi gelombang universal. Ilustrasinya kurang lebih sebagai berikut.
Di awal mengembangnya alam semesta (Big Bang), alam semesta berukuran sangat kecil dan mahapadat. Mengikut cara berpikir QM, maka alam semesta ini mempunyai sebuah fungsi gelombang primordial. (kita sebut Ψalam)Kontan, menurut MWI, sebenarnya seluruh fungsi gelombang yang ada hanyalah turunan. Serpihan dari “yang satu”. Jika semua fungsi gelombang yang ada — dari semua benda di seluruh kenyataan — dijumlahkan, maka kita akan mendapat bentuk masa kini dari fungsi gelombang universal. Hasil evolusi dari fungsi gelombang yang pertama sekali, yakni Ψalam.
Karena berupa fungsi gelombang, Ψalam pun mengandung probabilitas. Probabilitas ini akan mengakibatkan terjadinya percabangan kenyataan — kita sebut hasil percabangan ini Ψ1 dan Ψ2.
Seiring waktu, fungsi-fungsi Ψ1 dan Ψ2 pun akan mengalami percabangan. Demikian juga fungsi gelombang turunan mereka. Proses ini akan terus berulang, ad infinitum.
Tetapi, semua itu bersumber dari satu fungsi gelombang universal, yakni Ψalam. Sampai sekarang pun ψalam masih ada. Tak lekang dimakan waktu; hanya saja cabangnya makin banyak dan berevolusi!
Percabangan fungsi gelombang universal. Setiap waktu, cabangnya semakin banyak… sebenarnya semua itu adalah komponen dari fungsi keadaan alam semesta.
Di sini Ψalam bisa dianggap “entitas sumber” yang mengada secara konsisten. Ia melingkupi segala sesuatu di alam semesta, dan segala sesuatu diturunkan darinya.
Hanya saja, terlepas dari itu semua, kita harus ingat bahwa ide ini tarafnya masih hipotesis. Kita masih belum tahu apakah MWI dan dekoherensi kuantum benar terjadi — dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memastikannya.
Sifat Deterministik
MWI menyatakan bahwa setiap kemungkinan yang bisa terjadi mewujud di dunia paralel. Ini berarti alam semesta deterministik. Pasalnya, segala sesuatu yang bisa terjadi dipastikan akan terjadi. Hanya saja tidak semuanya dapat kita alami.
Jika saya melakukan percobaan Kucing Schrödinger, maka kedua kemungkinan — bahwa kucing mati atau hidup — akan bersama-sama mewujud. Satu kejadian bisa saya amati, sedang yang satu lagi terjadi di dunia tetangga. Tentunya ini mengundang diskusi filosofis akan konsep determinisme dan naturalisme di alam. Meskipun demikian, seperti sebelumnya, diskusi soal ini saya simpan untuk tulisan yang akan datang. ^^
……
3.4. Decoherence Approach + Quantum Darwinism
- Lebih lanjut: Quantum Decoherence ; Quantum Darwinism ; Einselection
- Fitur Khusus:
- Titik berat pada Dekoherensi Kuantum
- Mekanisme seleksi alam untuk quantum state
Untuk menyegarkan, ada baiknya saya tampilkan diagram dari post yang lalu.
Berdasarkan gambar, terdapat beberapa fungsi gelombang masa depan yang tidak teramati. Oleh MWI, fungsi-fungsi gelombang tersebut merembet dan mewujud di dunia paralel. Meskipun begitu, bagaimana dengan Decoherence Approach (DA) ?
“Konservasi” Fungsi Gelombang
Menurut DA, tidak ada fungsi gelombang masa depan yang hilang pasca keruntuhan superposisi. Meskipun begitu, yang bisa mewujud — dan melanjutkan sebagai kenyataan — hanya satu. Ke mana perginya yang lain?
Di sini diasumsikan bahwa fungsi gelombang yang gagal mewujud berinteraksi dan melebur dengan lingkungan alam. Kasarnya, seolah terjadi konservasi: fungsi gelombang yang gagal menjadi kenyataan mengalihkan “perwujudan”-nya ke bentuk lain.
Kembali kita ajukan contoh kucing Schrödinger. Apabila saya mendapat kenyataan bahwa “kucing mati”, maka fungsi gelombang “kucing hidup” telah berinteraksi dengan lingkungan alam dan melebur ke dalamnya.
Mungkin saja fungsi itu kini terkandung dalam aktivitas molekul gas beracun, perubahan temperatur kotak, atau lain sebagainya. Idenya adalah bagaimana fungsi gelombang masa depan — yang tadinya ada — dikonservasikan menjadi fungsi keadaan lingkungan sekitar.
Apabila digambarkan dengan diagram,
Di sini, penjelasan multi-kenyataan a la MWI tidak diperlukan. Semua fungsi gelombang masa depan yang pernah ada bisa terkonservasi — mereka hadir bersama-sama di dunia yang kita amati.
Catatan:
IMHO, sebenarnya istilah “konservasi” agak kurang tepat. Pada kenyataannya fungsi gelombang mengalami evolusi/perubahan setiap waktu — sehingga sudah pasti terjadi perbedaan kompleksitas setelah suatu proses terjadi.
(perhatikan diagram fungsi gelombang universal saat kita membahas MWI)
Meskipun demikian, ide utamanya adalah bahwa tidak ada fungsi gelombang masa depan yang tersia-sia. Selalu ada elemen fisik yang siap menampung fungsi gelombang yang gagal mewujud… in a sense, ini adalah sebentuk konservasi. Walaupun tidak dengan pengertian yang sebenarnya.
Quantum Darwinism dan Einselection
Bukan, ini bukan klaim bahwa makhluk hidup pertama tercipta secara by chance di skala kuantum
Berdasarkan butir #2 teori DK, kita paham bahwa interaksi alam sekitar turut berperan dalam mencegah terjadinya efek kuantum di dunia makro. Pertanyaannya, bagaimana mekanismenya?
Di sinilah Quantum Darwinism masuk pembahasan. Teori ini mengadaptasi konsep seleksi alam — di bidang biologi — untuk menjelaskan evolusi fungsi gelombang. Hanya fungsi-fungsi gelombang tertentu yang bisa “merambat” ke skala makro. Lingkungan alam akan menyaring berbagai superposisi sejak di skala kuantum: satu demi satu efek kuantum terkikis, hingga akhirnya terbentuk dunia makro deterministik yang kita kenal.
Keadaan-keadaan hasil “seleksi alam” ini kemudian disebut sebagai Einselection (environment induced selection). Menarik untuk dibayangkan, apakah sebenarnya cabang ilmu Biologi dan Fisika cukup paralel?
……
3.5. Ensemble Interpretation
- Lebih lanjut: Ensemble Interpretation; Frequency Probability
- Fitur Khusus:
- Probabilitas QM dipandang sebagai penjumlahan statistik (frekuensial)
Seluruh probabilitas kuantum harus dipandang sebagai penjumlahan statistik, bukannya individual.Pandangan ini berakar dari konsep probabilitas frekuensial. Menurut probabilitas frekuensial, peluang terjadinya suatu hal diindikasikan oleh seberapa seringnya hal tersebut terjadi dalam satu rentang pengujian.
Dengan demikian, superposisi kuantum sama sekali tidak terjadi. Jika kita melakukan percobaan kucing Schrödinger sebanyak 1000 kali, maka kita akan mendapat hasil sebanyak 500 kucing mati dan 500 kucing hidup.
Contoh:Dengan pendekatan yang sama, EI memberikan cara berpikir baru: statistik kuantum. Setiap pengukuran hanya akan memberi hasil tunggal. Tetapi, jika banyak pengukuran dilakukan, barulah terlihat adanya sebaran probabilitas. ^^
Seorang pemain bola menendang penalti sebanyak 10 kali, dan mencetak gol 8 kali. Maka, menurut probabilitas frekuensial, kemungkinan si pemain untuk mencetak gol penalti adalah sekitar 0,8.
Ilustrasinya kira-kira seperti berikut.
Hasil penembakan elektron ke layar dalam percobaan celah ganda. Pertama-tama tampak elektron menyebar satu-satu.
Meskipun demikian, seiring dengan banyaknya elektron yang terkumpul, terbentuk garis-garis yang tepinya agak kabur — sesuai dengan sebaran probabilitas.
Penjelasan di atas sekilas sangat masuk akal. Sayangnya, ini tidak otomatis membuat EI diterima begitu saja — masih ada perdebatan mengenai konsep dasar probabilitas kuantum. Beda pendapat yang berakar dari perkara klasik di dunia probabilitas dan statistik, yakni Frequentist vs. Bayesian.
- Lebih lanjut: Frequentist vs. Bayesian
……
3.6. Hidden Variable Theory
- Lebih lanjut: Hidden variable ; Bohm Interpretation ; EPR Paradox
- Fitur Khusus:
- Probabilitas QM diakibatkan oleh adanya variabel X di latar belakang
- Mempostulatkan QM sebagai suatu sistem deterministik
BTW, ucapan legendaris Einstein bahwa “Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta” berawal di sini. ^^Di masa kini, teori hidden variable dikenal melalui rumusan fisikawan David Bohm. Interpretasi Bohm menyatakan bahwa QM sebenarnya deterministik — asumsinya, terdapat semacam potensial kuantum yang dipengaruhi oleh fungsi gelombang penuntun (pilot-wave). Dari mana asalnya pilot-wave? Menurut Bohm, ia dapat diturunkan secara matematis dari fungsi gelombang Ψ. Inilah yang dinyatakan sebagai hidden variable; i.e., menjadikan sistem kuantum bersifat deterministik.
Meskipun begitu, sebagaimana tafsiran-tafsiran lainnya, interpretasi Bohm juga tak lepas dari kritik. Masih ada pertanyaan seputar pilot-wave dan potensial kuantum yang belum terjawab: e.g. definisi sebenarnya dari potensial kuantum; perbandingan dengan tafsiran fungsi gelombang tradisional; dan seterusnya. Bagaimanapun, memang belum ada tafsiran QM yang benar-benar perfect.
……
3.7. Lain-lain
Di samping berbagai interpretasi yang sudah dibahas di atas, terdapat juga beberapa interpretasi QM yang gaungnya relatif kecil/baru terdengar belakangan. Beberapa diantaranya bisa dijelaskan — secara singkat — sebagai berikut.
Transactional Interpretation (TIQM) [wikipedia?]
Interpretasi ini menyatakan bahwa terjadi semacam komunikasi/arus sinyal bolak-balik dalam sistem kuantum. Berdasarkan bentuk time independent (tak tergantung waktu) dari persamaan Schrödinger, maka bisa diasumsikan bahwa terjadi aktivitas nirwaktu di dunia kuantum.
TIQM memperkirakan bahwa sistem kuantum saling bertukar sinyal (transaksi) bolak-balik dalam waktu. I.e. sinyal dikirim ke masa depan, lalu balik lagi ke masa lalu. Ajaib dan membingungkan? well… saya pun berpikir begitu. Ini agak terlalu advanced, IMHO. ^^;;
Relational Interpretation (RQM) [wikipedia?]
Yang ini adalah interpretasi QM yang — konon katanya — melandaskan prinsipnya dari Teori Relativitas Einstein, dan usianya masih sangat muda (keluar tahun 1995). Menurut RQM, hasil pengukuran kuantum adalah relatif tergantung keadaan pengamat.
Suatu hasil pengukuran yang sudah pasti oleh pengamat A mungkin saja masih berupa superposisi di mata pengamat B. Meskipun demikian, apabila semua pandangan tersebut digabungkan dalam kerangka RQM, maka akan terlihat suatu sistem kuantum yang konsisten.
Di satu sisi ini sangat paralel dengan konsep relativitas khusus Einstein: bagaimana suatu gejala fisika terlihat adalah tergantung pada kerangka inersial pengamatnya. ^^
Many-minds Interpretation (MMI) [wikipedia?]
Many-minds Interpretation (MMI) merupakan varian dari konsep banyak-dunia yang digagas MWI (lihat seksi #3.3.). Meskipun demikian, terdapat perbedaan besar: MMI menyatakan bahwa kesadaran pengamat (i.e. manusia/obyek berkecerdasan) lah yang membelah. Kesadaran ini kemudian menghadirkan alam semesta sebagai “produk kesadaran”.
Kasarnya, kita tidak membutuhkan banyak macroworld seperti yang disarankan MWI. Alih-alih demikian, justru pikiran dan persepsi kita yang mengganda — lantas memberi kesan akan “dunia” yang diamati.
Ini benar-benar mengingatkan pada jalan cerita The Matrix xDHanya saja ide yang digarap MMI kemudian mendapat banyak kritikan, terutama berhubungan dengan nature-nya yang sangat spekulatif. Di mana spekulatifnya… saya rasa Anda bisa menduga-duga sendiri. ^^;; Atau baca di halaman wikipedia yang bersangkutan.
……
3.8. End Note: Kesimpulan Sementara
Akhirnya kita sampai di akhir pembahasan. Sejauh ini kita sudah membahas berbagai interpretasi QM yang pernah muncul. Beberapa di antaranya relatif sukses dan diakui (e.g. Keluarga Kopenhagen, MWI, Dekoherensi). Meskipun demikian terdapat pula interpretasi yang — berhubung dengan ide yang dikandungnya — memperoleh tanggapan kurang positif (Teori Pengamat Partisipatif, MMI).
Yang perlu untuk dicatat adalah bahwa sifat asli QM, sejauh ini, memang sangat obscure — sedemikian hingga ada begitu banyak interpretasi tentangnya. Lebih jauh lagi, semua interpretasi ini mengakomodasi bukti-bukti sains yang sama… yang membedakan hanyalah kesimpulan akhirnya saja.
Mengutip fisikawan David Deutsch,
It is quite exceptional in science for there to be a dispute about the interpretation of a theoryAlhasil, mengenai tafsiran mana yang benar… tampaknya kita harus menunggu sampai waktu — dan kemajuan sains — mengungkap jawabnya.
~ David Deutsch
Sekian untuk post kali ini. Seperti sebelumnya, koreksi dan masukan, apabila ada di antara pembaca yang berkompeten, sangat diharapkan.
http://sora9n.wordpress.com/2008/09/12/sedikit-tentang-mekanika-kuantum-dan-filosofinya-35/